MEMBANGUN FORMAT PENDIDIKAN INDONESIA DALAM RANGKA MENGEMBALIKAN CITA-CITA PENDIDIKAN NASIONAL

I.          PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Memasuki abad ke-21 ini, Pendidikan Nasional Indonesia menghadapi tantangan yang berat yaitu tantangan globalisasi, otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan untuk mengembangkan pendidikan yang relevan dengan kehidupan warga belajar serta didukung oleh masyarakatnya. Tantangan yang lebih serius lagi berkaitan dengan rendahnya  mutu dan relevansi pendidikan Indonesia seperti telah banyak di laporkan oleh beberapa lembaga riset Internasional. Misalnya, berdasarkan survei The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di hongkong disimpulkan bahwa sisitem pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-12 di Asia, setelah Vietnam, dengan urutan pertama dan kedua masing-masing diduduki Korea Selatan dan Singapura.
 Hasil survey yang didasarkan pada mutu tenaga kerja ini menunjukan bahwa rendahnya mutu tenaga kerja kita itu berhubungan dengan rendahnya mutu system pendidikanya (Depdiknas, 2001). Merosotnya mutu sumber daya manusia telah mengkhawatirkan sebagaian besar pemerhati pendidikan Di Negara kita ini.
Sebuah format pendidikan mengarah kepada cita-cita pendidikan nasional sudah menjadi sebuah keharusan untuk di jalankan karena proses pendidikan harus mengarah kepada bagaimana elemen pendidikan dan perangkat-perangkat pendidikan dapat menjalankan sesuia dengasn fungsinya yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa. Pendidikan adalah menjadi tanggung jawab bersama dari keseluruhan kepala yang berjalan di atas persada ini. Kontes pencerdasan anak bangsa adalah amanat kontitusi yang tank boleh diabaikan dalam situasi bagaimanapun (lukman, 2003).
Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita. Beberapa dekade terakhir ini, mutu hasil pendidikan di Indonesia dinilai cukup memprihatinkan. Berbagai model dan format pendidikan nasional yang sudah berjalan puluhan tahun ternyata belum mampu menghasilkan manusia Indonesia yang bertanggung jawab, jujur dan memiliki integritas tinggi. Sebaliknya, moral bangsa semakin memprihatinkan. Indonesia kini telah menjadi bangsa yang dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi, kerusakan lingkungan, dan kriminalitas yang tinggi. Semua itu terjadi karena pendidikan yang diterapkan di Indonesia belum memberikan tempat yang sinergis antara pendidikan berbasis kognitif-psikomotorik dan pendidikan berbasis afektif (akhlaq atau moral).
Menurut undang- undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Undang-Undang ini mengarahkan bagaimana pendidikan sejatinya di jalankan dalam rangka untuk mencerdasarkan kehidupan bangsa sdengan tujuan membentuk individu yang mempuyai Iman dan takwa jadi prosesi pendidikan haruslah mengarah kepada proses pembendukan sebuah karakter anak bangsa.
Pada dasarnya setiap satuan pendidikan memiliki sistem untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Sistem pendidikan tinggi dilihat sebagai sebuah proses akan memiliki empat tahapan pokok yaitu Masukan, Proses, Luaran danhasil ikutan outcome. (Dikti, 2008).
Semua orang sependapat jika pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting. Jepang mampu bangkit dari keterpurukan di masa perang Dunia II juga karena pendidikan. Hak pendidikan juga menjadi salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Konvensi HAM internasional 10 Desember 1948. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup. Anak harus 'dihidupkan' agar perilakunya selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dalam perkembangannya, pendidikan di Indonesia mengalami proses komodifikasi. Ada pergeseran paradigma dari pendidikan untuk semua berubah menjadi pendidikan bagi mereka yang memiliki uang banyak saja. Perkembangan ini tentu bertentangan dengan cita-cita Ki Hajar Dewantara, sebab hanya anak dari keluarga kaya saja yang dapat mengenyam pendidikan.
Format pendidikan sudah harus di jalankan dengan landasan untuk mengembalikan cita-cita pendidikan Nasional. Agar permasalahan pendidiakan dapat terselesaikan, tanpa harus menimbulakan sebuah beban bagi anak Indonesia untuk mendapatkan pendikanyang memenag sudah selayaknya untuk di tempuh.
  




1.2.Tujuan
 Penulisan ini sebuah gagasan dan telaah bagi mana proses pendidikan yang telah ada di Indonseia ini dan bagaimana menemukan gagasan pendidikan Indonesia Kedepanya dalam rangka mengembalikan cita-cita pendidikan Nasional.

II.   KONDISI  DAN ARAH PENDIDIKAN INDONESIA

A.        Revolusi di Dunia Pendidikan Indonesia

Multidimensional yang melanda Indonesia membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor penyebab krisis memang kompleks, tapi penyebab utama adalah SDM kita yang kurang bermutu.
SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan managerial yang andal. Dan yang paling merisaukan SDM kita sering bertindak tanpa moralitas. Menurut IMD (2000) Indonesia menduduki peringkat ke-45 (dari 47 negara) dalam hal daya saing. Padahal Singapura berada pada posisi no.2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Daya saing ditentukan oleh mutu SDM. Ditinjau dari segi mutu SDM, Indonesia menduduki peringkat 46. SDM Indonesia ternyata kurang menguasai sains dan teknologi, dan kurang mampu secara manajerial. Dalam kedua hal ini Indonesia mendapat nomor urut 42 dan 44.  Penelitian lain mengungkapkan, produktivitas SDM Indonesia rendah, karena kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Di samping itu, semua kita harus malu karena banyak pusat kajian menggolongkan Indonesia pada kelas amat wahid dalam hal korupsi. Korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, dengan kebohongan, ketidakjujuran, bahkan dengan ketidakadilan dan pemerasan. Semua itu tanda-tanda kemerosotan bahkan kebejatan moral.  Tidak adil apabila kita hanya mempersalahkan dunia pendidikan. Karena kemerosotan turut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya media massa. Namun, tetap benar institusi yang ex officio bertanggung jawab terhadap pembinaan SDM adalah dunia pendidikan. Oleh sebab itu, penting sekali negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasihat peneliti McDougall: invest in man not in plan.
Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus mengatur kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan. Kita harus menjungkirbalikan paham dan nilai yang ada, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru.

B.     Praktek Pendidikan Berwajah Ke-indonesia-an
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.
Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.
C.     Persoalan Pendidikan Nasional Kita
Pendidikan merupakan faktor yang sangat fundamental bagi upaya mewujudkan Negara Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera. (Mandaey, 2008)
Baik negara maupun masyarakat tentu mendambakan akan terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang memiliki SDM yang handal, demi kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Dan terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang memiliki SDM yang handal, tentu sangatlah ditentukan oleh mutu pendidikan nasional bangsa kita. Itulah sebabnya sejak zaman orde baru hingga di zaman reformasi ini pembangunan di bidang pendidikan dipacu. Program massalisasi pendidikan dalam bentuk wajib belajar sembilan tahun digelar dengan target seluruh masyarakat Indonesia bebas dari buta huruf dan boleh mendapatkan pendidikan yang layak.
Akan tetapi tampaknya massalisasi pendidikan melalui paket wajib belajar sembilan tahun tersebut (SD dan SMP) terlalu terfokus pada aspek kuantitatif peserta didik dan mengabaikan aspek kualitas mutu pendidikan. Dalam sistem pendidikan seperti ini, hampir tidak ada peserta didik yang tidak naik kelas atau lulus dari SD sampai SMA sekalipun dia tidak tahu apa-apa. Fenomena nilai yang dikatrol dan diperjualbelikan, pengawas yang  sering kita mendengar bahawa pihak sekolah memberitahu jawaban soal ujian nasional kepada peserta ujian nasional demi keamanan dan kesejahteraan guru masih begitu marak. Maka, tingkat tamatan pendidikan dasar banyak, tetapi tingkat SDM tetap rendah karena pendidikan yang tidak bermutu. Buktinya, pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas manusia Indonesia muncul berulang-ulang di mana-mana. Bahkan para TKI yang bekerja di luar negeri terus dikeluhkan akan kualitas SDM-nya
Salah satu penyebab utama rendahnya mutu pendidikan nasional kita ialah kebijakan yang bersifat curiculum centris. Para pembuat kebijakan telah merasa berhasil, dan para guru merasa aman jika seluruh prosedur kurikulum telah terlaksana, meskipun lulusannya tidak memiliki pengetahuan dan kemahiran yang dituntut oleh kurikulum itu sendiri. Mereka lupa bahwa kurikulum bukanlah tujuan, melainkan alat untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Kalau ada masalah, biasanya jawabannya ialah “belum masuk kurikulum” atau “waktu yang dialokasikan terlalu sedikit”. Maka kemudian kurikulum diubah, setiap ganti menteri ganti kurikulum, dan setiap ganti kurikulum, muncul pula istilah-istilah baru. Dulu CBSA, kemudian link and math, dan kini ada kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), berikutnya entah berbasis apa lagi. Dan semua ini diikuti dengan proyek-proyek baru, penataran guru, ganti buku, ganti cara membuat persiapan mengajar dan lain-lain yang berimbas pada biaya yang sangat besar.
Jika pendidikan kita beralih dari Curiculum centris dan berfokus pada kualitas lulusan, pasti akan terjadi perubahan pada kualitas SDM sebagai produk dari sistem pendidikan. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah standardisasi mutu yang diberlakukan secara nasional, bukan modifikasi-modifikasi kurikulum.
III.             MUTU DAN RELEVANSI PENDIDIKAN
Pendidikan yang dirancang melalui sistem desentralisasi adalah pendidikan yang berwawasan mutu yang mampu menjawab tantangan global seperti tercantum dalam konsideran UU nomor 22 Tahun 1999.  Pedidikan yang bermutu tersebut memerlukan dukungan dari berbagai faktor  yang terintegrasi melalui mekanisme yang holistik. Tingkat pencapain mutu ini terletak pada sejauh mana pemerintash menciptakan kondisi yang baik bagi terwujudnya tiap Faktor dan mensinkronkanya dengan keberadaan factor lain.
Pandangan ini mensyaratkan bahwa setiap usaha penyempurnaan pendidikan nasional harus di pahami dari sudut pandang bahwa pendidikan adalah sebuah usaha menyeluruh yang setiap program dan  kegiatannya harus mengarah kepada perbaikan proses pendidikan .Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu pendidikan.
Mutu berkenaan dengan penilaian sejauh mana suatu produk memenuhi kriteria, standar atau rujukan tertentu (Depdipnas.2001). Dalam dunia pendidikan standar ini dapat dirumuskan melalui hasil belajar mata pelajaran skolastik yang dapat di ukur secara kuantitatif, dan pengamatan yang bersifat kualitatif, khususnya untuk bidang-bidang pendidikan agama, budi perkerti  moral dan sebagainya.
A.  Relevensi pendidikan
Sebenarnya kriteria relevansi cukup ideal jika dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambatan tentang kerjaan yang ada antara lain sebagai berikut.
 status lembaga pendidikan yang bermacam-macam
sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran yang siap pakai. Yang ada ialah siap kembang. Tidak tersedianya pete kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang digunakan sebagai pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya.
B.       Kondisi Mutu dan relevansi pendidikan
Perhatian pemerintah Indonesia untuk meningaktkan mutu pendidikan melaui paket desentralisassi pendidikan didasarkan pada kenyataan bahwa mutu pendidkan  di indonesia masih rendah. Gambaran ini dapat dilihat dapat dilihat dari beberapa study tentang tingkat pencapaian hasil belajar siswa yang rendah khususnya bidang eksakta.
Indikator mutu juga di ukur secara kuatitatif bersadarkan prestasi akademis yang di dapat peserata didik. Indonesia mendapatkan nilai terendah dalam hal komitmen kebijakan dan tindakan pemerintah menghapuskan biaya bagi pendidikan dasar.
Menurut Roesminingsih, dalam Pendidikan untuk semua  (2008) dikatakan pendidkan harus :
Ø      Memperluas pendidikan untuk anak usia dini
Ø      Menuntaskan wajib belajar untuk semua (2015)
Ø      Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa
Ø      Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan
Ø      Meningkatkan mutu pendidikan
Ø      Menghapuskan kesenjangan gender
                                                                                          

Dalam Forum Pendidikan Dunia sepakat untuk mengerahkan komitmen politik nasional dan internasional yang kuat bagi Pendidikan untuk Semua, membangun rencana aksi nasional dan meningkatkan investasi yang besar dalam pendidikan dasar;
1.    mempromosikan kebijakan Pendidikan untuk Semua dalam kerangka sektor yang berlanjut dan terpadu baik, yang jelas terkait dengan penghapusan kemiskinan dan strategi-strategi pembangunan;
2.    menjamin keikutsertaan dan peran serta masyarakat madani dalam perumusan, pelaksanaan dan pemantauan strategi-strategi untuk pembangunan pendidikan;
3.    mengembangkan sistem pengaturan dan manjemen pendidikan yang tanggap, partisipatori dan dapat dipertanggungjawabkan;
4.                                                                         memenuhi kebutuhan sistem pendidikan bagi daerah-daerah yang dilanda oleh pertikaian,
5.     bencana alam dan ketakstabilan, dan melaksanakan program-program pendidikan dengan cara-cara yang mempromosi saling pengertian, perdamaian dan toleransi, dan yang membantu mencegah kekerasan dan pertikaian;
6.    melaksanakan strategi-strategi terpadu untuk persamaan jender dalam pendidikan yang mengakui perlunya perubahan-perubahan sikap, nilai dan praktek;
7.    melaksanakan sebagai sesuatu yang mendesak à program dan tindakan pendidikan untuk memerangi wabah HIV/AIDS;
8.      menciptakan lingkungan sumber daya yang aman, sehat, inklusif dan adil yang kondusif bagi keunggulan dalam pembelajaran dengan tingkat-tingkat prestasi yang sudah jelas untuk semua;
C.       Faktor yang mempengaruhi Mutu pendidikan
Menurut Rakhmat (2005) produktivitas kerja yang rendah menimbulkan pendapatan yang rendah. Pendapatn yang rendah menyebabkan pendidikan yang rendah. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kualitas SDM yang rendah menyebabkan produktivitas yang rendah dan terus beritu.
Beberpa factor yang mempengaruri mutu pendidikan antara lain :
a.       Guru yang berkualitas dan berwewenag yang mampu melibatkan murid dalam proses pembelajaran yang efektif dan mampu memanfaatkan fasilitas dan situasi yang ada secara maksimal.
b.      Karir guru yang memungkinkan mobilitas guru dari satu daerah ke daerah lain dan yang mencakup pendayagunaan tenaga tenaga guru pada semua tahap di mulai dari thap pendidikan guru, seleksi, penerimaan, penempatan, pengawasan, pemberian imbalan, sampai dengan purnabakti mereka.
c.       Kesejahteraan guru yang merefleksikan kondisi dan hidup guru dan tenaga pendidik umumnya secara layak.
d.      Manajemen pendidikan yangoleh perundag-undangan.
e.       Proses belajar mengajar yang menggunakan pendekatan pada siswa belajar aktif dengn menggunakan rancangan belajar yang relevan.
f.        Peserta didik yang sehat, bergizi dan siap belajar dalam pendidikan sekolah
g.       Sarana prasarana dan yang mencakup unsur fisik mauun unsur psikososial dan peralatan belajar.
IV.              MEMBANGUN FORMAT PENDIDIKAN INDONESIA
A.       Reformasi pendidikan
Reformasi kini menjadi suatu keharusan dalam pembenahan pendidikan khususnya pembelajaran.Reformasi ada dalam rangka memuaskan pelanggan/masyarakat dengan memberikan pelayanan yang lebih baik agar sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka..Konsep pembelajaran reformatif berpusat kepada siswa, interaktif atau terjadi interaksi multi arah, multidisipliner, kerja kelompok, guru sebagai fasilitator, mengajarkan bagaimana mempelajari sesuatu, dimungkinkan tim teaching untuk memperoleh kajian lintas disipliner, memberikan peluang kepada siswa mengalami berbagai gaya belajar, pembelajaran kristis dengan pendekatan pemecahan masalah (problem solving) yang berorientasi ke masa depan. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran reformatif maka perlu diadakan persiapan baik dari guru maupun siswa. Guru harus bersikap demokratis, selalu mengembangkan kemampuannya dan belajarterus. Harus ada perubahan paradigma guru dengan strategi seperti :
Ø      guru berhak untuk mencari informasi dan mengembangkan diri dalam jam kerjanya baik secara individual maupun kelompok (diskusi) misalnya 4 jam/minggu,
Ø      guru berhak mengikuti pelatihan yang telah didesain dan ditetapkan olehorganisasi dan dimungkinkan pilihannya sendirimisalnya 100 jam/tahun.
Ø      guru berhak membuat karya tulis ilmiah dan dipublikasikan misalnya minimal 1 tulisan/semester
Ø      guru berhak membuat penelitian sederhana minimal 1 penelitian/tahun.
Kondisi demikian tentunya membawa konsekuensi yang perlu direncanakan misalnya adanya wadah untuk menampung tulisan guru, adanya reward bagi guru yang sudah berusaha keras mengembangkan diri. Dalam pelaksanaandapat dilakukan dengan program pembimbingan antarguru. Misalnya membuat karya tulis ilmiah, guru yang mampu dapat menjadi membimbing guru yang belum mampu sehingga guru yang mampu bertumbuh menjadi pembimbing sedangkan guru yang belum mampu mempelajari sesuatu dari temannya. Setiap terjadi pembimbingan maka nama pembimbing tercantum dalam karya tersebut.
Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan diperlukan waktu enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu pendidikan.
Reformasi sepenuhya harus di jalankan dal;am menhadapi persoalan pendidikan untuk mengarah kepada  pola pendidikan dengan seutuhnya dan mendapatkan hasil perubahan untuk pendidikan.

B.       Peningkatan mutu pendidikan
Dalam alam globalisasi yang sangat dinamik dewasa ini, kita sungguh sangat
sedih melihat kenyataan bahwa anak-anak bangsa yang bisa mengisi kesempatan yang terbuka luas di seluruh dunia hanya terbatas dalam bidang-bidang yang memberi nilai tambah yang relatip rendah. Salah satu sebabnya adalah karena sumber daya manusia yang kita miliki mutunya sangat rendah. Banyak kesempatan lewat begitu saja karena sumber daya yang jumlahnya melimpah tidak ada yang cocok, atau bahkan tidak pernah dipersiapkan untuk itu. Penduduk Indonesia berjumlah antara 210 sampai 212 juta jiwa mempunyai ciri jumlah remaja yang sangat menonjol serta akan terus naik. Ciri itu sesungguhnya merupakan potensi yang menjanjikan, tetapi kenyataan bahwa mutunya masih rendah memerlukan penanganan yang sangat urgen. Kejadian itu harus kita anggap sebagai musibah yang harus ditangani dengan suatu shock terapi khusus seperti gerakan
Menurut Suyono (2002)  Gerakan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang sangat rendah setidak-tidaknya harus diarahkan untuk lima sasaran utama dengan komitmen dan dukungan program dan anggaran yang kuat, terpadu dan dinamik dari pemerintah dan aparatnya di seluruh pelosok tanah air. Sasaran pertama, peningkatan pemberdayaan siswa secara konsisten dan berkelanjutan. Kedua, peningkatan mutu, kemampuan dan kesejahteraan guru. Ketiga, penyempurnaan kemampuan dan kesiapan sekolah untuk memberikan dukungan terhadap aktivitas kependidikan dan pengajaran yang dinamik, padat dan relevan dengan perkembangan masyarakatnya. Keempat, pengembangan kesadaran orang tua untuk mengirim dan memberikan dukungan kepada anak-anaknya untuk belajar sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya. Kelima, pengembangan budaya masyarakat yang kondusif serta mendukung upaya belajar dalam suasana nyaman,menggairahkan dan dinamik.
C. Tanggung jawab Pendidikan
Dalam hal tanggungjawab dapat diperiksa kembali komponen dari system pendidikan. Tentu ada sistem pendidikan lokal sekolah, kursus/pelatihan, yang dapat disebut sistem institusional dan ada pula sistem pendidikan daerah tingkat dua dan selanjutnya sistem pendidikan nasional. Sayangnya sampai sekarang yang sudah ada UUnya baru Sistem Pendidikan Nasional (SPN) (Pongtuluran, 2002) a
D.   Strategi Penuntasan Masalah  Pendidikan
Dunia pendidikan Indonesia tidak pernah lepas dari sejumlah persoalan. Persoalan-persoalan tersebut ada kalanya bersifat monodimensional dan ada kalanya bersifat multidimensional bahkan tak jarang setelah satu masalah terpecahkan akan muncul masalah baru. Begitu rentannya dunia pendidikan kita terhadap berbagai persoalan, tidaklah berlebihan manakala pada saat ini para ahli dan praktisi pendidikan terus berupaya mengembangkan sistem pendidikan nasional yang adaptable terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat, baik melalui kajian filosofis atau teoretis maupun melakukan penelitian. Sesungguhnya, pihak pemerintah melalui Depdiknas telah berusaha mengembangkan Sisdiknas dengan mengacu pada empat kebijakan strategis, yaitu pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja, dan efisiensi
dan efektifitas dalam pengelolaan pendidikan. Namun, dalam kenyataannya masih ada sejumlah persoalan yang perlu dipecahkan dengan segera, misalnya angka putus sekolah dan buta aksara yang cukup tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 melaporkan angka tertinggi tingkat buta aksara ada di pulau Jawa dengan urutan yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Anak usia di atas 15 tahun setidaknya ada 14,58 juta orang buta aksara. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa sampai akhir 2006, jumlah penyandang buta aksara mencapai 8% atau
sekitar 12,8 juta orang . Pertengahan 2007, anak usia di atas sepuluh tahun tercatat 12,2 juta orang menyandang buta aksara. Sementara itu, perhatian Dakkar dan Rencana Aksi Nasional Pendidikan Keaksaraan adalah kelompok usia 15-44 tahun yang saat ini jumlahnya sekitar 7,9% juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami penurunan tingkat buta aksara sekitar 18% (Astuti, 2007).
E. Kebijakan pendidikan yang harus  dilakukan
Prosesi pendidkan harulah mengarah kepada tiga unsur diantaranya kongitif, afektif dan psikomotorik guna memporoleh kualitas pendidikan yang bermutu .
a. Meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia pendidikan dasarà utamanya daerah dan masyarakat miskin, terpencil, dan terisolasi. à biaya operasional sekolah (BOS) sebagai langkah awal pelaksanaan pendidikan dasar gratis.
b. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan à standar nasional pendidikan
(PP 19 tahun, 2005).
c. Meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN dan APBD sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
d. Mendorong pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan sampai dengan satuan pendidikan dalam menyelenggaraan pendidikan.
e. Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dalam rangka membangun pelayanan pendidikan yang amanah, efisien, produktif dan akuntabel melalui upaya peningkatan tata kelola yang baik (good governance) kelembagaan pendidikan.
f. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan à peran dan fungsi komite sekolah dan dewan pendidikan à Shool base education dan community base education.






           






V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
a.  Keimpulan
Dalam rangka membangun format pendidikan Indonesia untuk mengembalikan cita pendidikan nasional haruslah dengan sebuah format Peningkatan mutu pendidikan dan didukung oleh beberapa faktor kebijakan, manajemen sekolah dan pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan, baik berkenaan dengan mutu. Dalam kaitanya dengan penyelenggaran sistem pendidikan nasional mutu pendidikan di tentukan oleh sejauh mana tercapainya upaya pendidikan yang diukur dari tujuan pendidikan sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-undang yang berlaku tentang sisitem pendidikan nasional.
               Peningkatan mutu pendidikan di peroleh melalui dua stategi yaitu mutu pendidikan yang berorentasi akademis dan yang berorentasi ragam keterampilan hidup yang esensial. Yang menyangkut pelajar yang sehat, linkungan belajar yang sehat, rancangan belajar, proses belajar mengajar dan hasil belajar. Dengan out put kemampuna peserta didik memiliki kecerdasan, keterampilan yang berlansakan kepada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Dengan sikap sesuai dengan cita-cita pendidikan Nasional dalam mewujudkan pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
b.      Rekomendasi
Pendikikan Indonesia harus mengarah kepada bagaimna hasil dari peserta didik denga mempuyai landasan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan menrahkan pola pendidikan diantaranya:
Ø      Pemerintah harus mengalokasikan pendanan pendidikan yang lebih tinggi dan tepat pada sasaranya tanpa adanya penyimpangan dana-dana pendidikan.
Ø      Pendikan jangan di jadikan sebagai sarana bisnis bagi pihak-pihak yang berkedok lembaga pendidikan.
Ø      Penyama-rata muutu pendidikan dengan menyamakan sebuah kebutuhan para peserta didik baik dari kondisi pengajar, fasilitas pendidika tanpa di mempersoalakan dimana peserta didik bersekolah.
Ø      Masyarakat, lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan haru berperan dan wajib untu menjadi tulang punggung dalampendidikan.
Ø      Adanya evalusi secara terus meneru baik dari sudut sumber daya pengajar, komponen pendukung pembeljaran.
Ø      Peserta didik mengarah kepada mampu secara mandiri untuk dapat menciptakan sesuatu yang mempuyai manfaat dan nilai guna.
Ø      Mendistribusikan peserta didik untuk mudah dalam melanjutkan jenjang lebih tinggi.
Ø      Hasil dari pendidikan harus mampu bersaing dengan dengan negar lain.








DAFTAR PUSTAKA
Departemen pendidikan Nasional.2001. Menuju pendidikan dasar bermutu dan Merata. Depdipnas. Jakarta 105 hal.
Hakim, Lukman H. 2003. Pertaruangan belum usai Bina Rena Parawira. Jakarta. 306 hal.
Pongtuluran . Aris Pongtuluran  T. K. Brahim. 2002. Pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat. J. Pendidikan Penabur.
Rakhmat, jalaludin. 2005. Rekayasa sosial. Rosda karya . Jakarta. 225 hal.
Roesminingsih. 2008 .Pendidikan untuk semua
Undang-undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional
                                               
 




SHARE THIS

Author:

Etiam at libero iaculis, mollis justo non, blandit augue. Vestibulum sit amet sodales est, a lacinia ex. Suspendisse vel enim sagittis, volutpat sem eget, condimentum sem.